Memperingati dan
mentasyakuri hari Sumpah Pemuda dan lagu Kebangsaan Indonesia yang lahir di
rumah nomer 106 Gang Kenari jl. Keramat Raya Jakarta tahun 1928 bulan 10
(Oktober) tanggal 28. Bagi generasi penikmat, generasi yang tinggal menikmati
hasil perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, memperingati-mensyukuri hari
Sumpah Pemuda itu harus. Peristiwa Sumpah Pemuda termasuk lagu kebangsaan
Indonesia Raya adalah nikmat besar bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur
yang terkandung di dalamnya itu laksana tirta amerta, air suci yang dapat
menyembuhkan ibu pertiwi yang saat ini sedang mengalami sakit komplikasi. Juga
dapat seperti cahaya yang bisa menyingkap kegelapan yang menyelimuti ibu
pertiwi akibat ulah putra-putrinya yang nakal dan masuknya nilai atau pengaruh
negatif dari luar negeri. Ia juga bisa menjadi jangkar yang menguatkan
pendirian bangsa Indonesia ketika terombang-ambing oleh derasnya arus
globalisasi sehingga tidak terjerembab dalam “gombalisasi”.
Oleh karena itu mencari
obat untuk kesembuhan ibu pertiwi bisa diperoleh dari bangsa Indonesia sendiri.
Obat dari luar negeri, seperti IMF, bisa jadi malah dipalsukan. Memang, akibat
penyakit komplikasi itu, membuat segala sesuatu yang ada pada bangsa Indonesia
tidak sampai. Ilmunya walaupun tinggi tidak sampai kepada kearifan, hukumnya
tidak sampai pada keadilan, ekonominya tidak sampai pada pemerataan,
persatuanya tidak sampai pada kekokohan, kekuasaannya tidak sampai pada
pengayoman, kepimpinannya tidak sampai pada keteladanan Lagu kebangsaan Indonesia
Raya, Sumpah Pemuda, lambang negara Republik Indonesia, dasar negara, tujuan
negara, sifat negara, pembukaan undang-undang dasar ’45, semua itu menyimpan
nilai-nilai luhur untuk menyelamatkan Indonesia. Bila menginsyafi hal ini maka
memperingati Sumpah Pemuda adalah wajib. Biarlah orang lain ada yang mengatakan
peringatan Sumpah Pemuda ini bid’ah dholalah. Dan memang, bagi generasi
penikmat yang tidak bersyukur mungkin bertanya-tanya untuk apa Sumpah Pemuda,
lagu kebangsaan Indonesia Raya. Peristiwa 81 tahun yang lampau itu, malah
dianggap angin lalu yang tidak relevan diperingati di jaman sekarang. Hanya
membuang biaya banyak tanpa ada manfaatnya.
Para pendahulu bangsa Indonesia sebenarnya
sudah mendidik kita agar menjadi manusia yang bersyukur kepada sesama manusia.
Satu contoh di dalam pembukaan UUD 45 alenia ke dua berbunyi : “ Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan
Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Disitu ada
kata-kata; perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pergerakan kemerdekaan
Indonesia. Perjuangan kemerdekaan berlangsung sejak tahun 1511 oleh raja Demak,
Pati Unus melawan Portugis sampai tertangkapnya Pangeran Diponegoro tahun 1830.
Dari kata-kata perjuangan kemerdekaan itu timbul deretan nama pahlawan pejuang
kemerdekaan Indonesia. Perjuangan lalu dilanjutkan dengan pergerakan
kemerdekaan sampai tahun 1945. Ada pergerakan di bidang politik, ekonomi,
sosial, agama, budaya, dan lain-lain. Dari situ timbul pula nama-nama pahlawan
pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia. Untuk menghargai jasa para pahlawan,
nama-nama mereka dijadikan nama jalan-jalan besar; di ibukota, propinsi,
kabupaten dan lain-lain. Mengapa tidak dijadikan nama gedung-gedung saja? Itu
pendidikan. Agar jutaan manusia yang setiap hari lalu lalang melewati jalan
nama pahlawan itu, ingat pengorbanan dan perjuangan yang telah ditempuh.
Sayangnya, tidak banyak orang yang lalu lalang itu menyadarinya. Orang yang
tidak menyadari nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam Sumpah Pemuda, lagu
kebangsaan Indonesia Raya, dasar negara dan lain-lain, akan menganggap berbagai
peristiwa besar itu sebagai kepunyaan masa lalu. Dan yang memprihatinkan,
mereka tidak segan menghapus-melenyapkan aset bangsa itu dan selanjutnya,
mengganti dengan nilai-nilai kotor seperti Bethorokolo (Bethoro : penguasa,
Kolo : waktu)-mumpung berkuasa, Dosomuko (Doso artinya sepuluh, Muko artinya
kepala). Satu orang memiliki sepuluh kepala; mata dua puluh, telinga dua puluh,
mulut sepuluh. Masing-masing kemauannya sendiri-sendiri. Ada yang suka makan
aspal dan lain sebagainya.
Kita harus senantiasa
menjaga nilai-nilai luhur bangsa sebab kalau tidak nilai luhur itu akan
terkikis dengan masuknya budaya luar yang berisi kekerasan yang diimport oleh
pihak-pihak tertentu. Dan pada gilirannya, negara Indonesia akan tinggal nama.
Namanya masih Indonesia tapi isinya berupa penjajahan. Ini terserah kita.
Apakah penjajahan itu ? Penjajahan itu bukan manusia, bukan pemerintah tetapi
nafsu serakah, thoma’, kedholiman, ingin mencaplok hak orang lain. Bacalah
alenia 1 pembukaan UUD ’45, “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa oleh
sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”. Bukan manusianya tapi nafsu serakah
yang demikian itulah yang harus dihapus, dibersihkan dari dunia, terutama dari
bumi Indonesia. Mulai dari diri kita sendiri. Kalau tidak dihilangkan, sampai
kapanpun penjajahan di Indonesia akan terus berlangsung, caplok sana, caplok
sini.
Masalah Sumpah Pemuda
adalah masalah yang besar, mengandung keajaiban- keajaiban. Keajaiban itu dapat
dilihat dari tempat dan waktu terjadinya. Dari tempat terjadinya di rumah nomer
106 mengandung 7 keajaiban, seperti jumlah angkanya (1 + 0 + 6 = 7). Tahun 1928
mengandung makna satu nusa, satu bangsa. Terdiri 1900 dan 28. Tahun 1900 itu
satu nusa. Penjelasannya 1 + 9 = 10 dan angka 10 sama dengan angka satu. 28
juga satu – satu bangsa ( 2 + 8 = 10 ). Dan bulan Oktober, bulan kesepuluh –
satu bahasa. Tanggal 28 juga sepuluh – satu Negara Republik Indonesia. Jadi
waktu terjadinya sumpah pemuda itu mengandung makna Satu nusa, Satu bangsa,
satu bahasa dan satu bentuk negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Tanggal 28 yang mempunyai makna tentang bentuk negara NKRI itu juga
sesuai dengan nama gang-nya yaitu gang Kenari yang berarti Kesatuan Negara
Republik Indonesia. Gang artinya jalan sempit dan keadaan gang itu
bermacam-macam. Tapi yang dituju adalah gang Kenari. Juga nama jalannya yaitu
Kramat Raya, Kramat – Kemulyaan, Raya – besar. Menuju kemulyaan yang besar
bukan jalan kehinaan. Itu mengenai nama tempat dan waktunya. Belum lagi
pelakunya yaitu para pemuda usia sekitar 25 tahun, bukan orang tua. Pada jaman
penjajahan itu, ibu pertiwi di injak-injak kehormatannya, pemimpin-pemimpinnya
di kerangkeng, kesadaran di bunuh, bangsanya di perbudak, kekayaan di keruk
melaut ke negara mereka, lisan di berangus, telinga di sumbat. Pada kondisi
yang sedemikian itu ibu pertiwi melahirkan Sumpah Pemuda. Dengan penuh
keberanian para pemuda melintasi batas suku, agama, daerah, meninggalkan
kebiasaan hura-hura untuk mempersatukan Indonesia. Ini ajaibnya pemuda masa
itu, tidak seperti sekarang ini yang suka tawuran.
Bagi penjajah, banyaknya penduduk Indonesia,
kerajaan-kerajaan yang ada di dalamnya, organisasi-organisasi tidak membuat
mereka takut tapi munculnya sumpah pemuda dan lagu kebangsaan Indonesia membuat
mereka seperti mendengar petir di siang bolong, bingung, ketakutan dan
kelabakan. Usahanya membuat bangsa Indonesia terutama golongan ningrat,
raden-raden menjadi ngantuk dan kalau bisa terus tidur, terancam. Mereka lalu
sibuk membuat dekrit yang melarang lagu Indonesia Raya dinyanyikan, barang
siapa diketahui menyanyikannya diancam penjara. Penjajah tahu rahasia yang
terkandung dalam lagu kebangsaan Indonesia. Diantaranya, … marilah kita berseru
Indonesia bersatu … seruan persatuan antar agama, antar suku, antar raja. Bukan
hanya seruan persatuan yang membuat penjajah takut. Dalam lagu itu juga
diserukan agar jiwa bangsa Indonesia segera bangun – bangunlah jiwanya
bangunlah badannya – bangun untuk Indonesia Raya dan mencintainya. Lebih
menakutkan lagi karena lagu itu menyerukan berulang-ulang – merdeka, merdeka,
merdeka. Bila saja makna dan seruan dalam lagu itu diamalkan bangsa Indonesia
dengan sadar dan insyaf akan menjadi musibah besar bagi penjajah. Tidak lama
lagi penjajah menuju lubang kubur. Sebaliknya, bagi bangsa Indonesia akan
mengalami kejayaan. Sebab bangsa Indonesia memang berjiwa besar tapi sedang
tidur, kena flu. Istilah sumpah juga disadari sebagai hal yang ajaib. Sumpah
adalah kata-kata yang mengandung masalah besar. Sejak tahun 686 M sampai tahun
1945 sumpah yang bersifat nasional sudah terjadi 4 kali dan efek yang
ditimbulkan sangat dahsyat. * Tahun 686 Sumpah yang diucapkan Syailendra telah
mengantarkan kebesaran Negara Indonesia pertama yaitu negara Sriwijaya, daerah
kekuasaannya meliputi Pilipina dan Srilangka. * Sumpah Garuda, sumpahnya burung
Garuda. Bagaimana burung bersumpah ? Burung adalah lambang jiwa, Garuda lambang
besar – Sumpahnya jiwa yang besar. Seperti terdapat pada relief dinding candi
Kidal di Malang. Yang mana di candi itu disimpan abu pembakaran raja Anusapati
yang wafat pada tahun 1245. Dikisahkan, Garuda memiliki seorang ibu namanya
Winoto tapi sedang diperbudak. Garuda bisa menyelamatkan ibunya bila ia bisa
merebut guci yang berisi air Amerta. Garuda akhirnya bersumpah untuk berbakti
pada ibunya – Winoto – ibu Pertiwi.
Dengan tekad jiwa besar dan segala kemampuan
yang dimiliki, Garuda bisa merebut guci itu dan membebaskan ibunya dari
perbudakan. Ini cerita sejarah yang mengandung falsafah yang sebenarnya juga
ada dalam lagu Indonesia Raya, “Indonesia tumpah darahku”.Tumpah darah itu
merah dan putih. Merah artinya berani, putih artinya suci. Berani karena benar,
bukan karena tabiat seperti singa, karena kepepet lalu menggerogoti uang
negara. Yang salah saja berani, mengapa yang benar tidak ? Membela tanah tumpah
darah. Disanalah aku berdiri tegak, berdiri imannya, pendiriannya. Untuk
menjadi pandu ibuku. Itu sumpah. Makanya kalau menyanyikan lagu kebangsaan
Indonesia dilakukan sambil berdiri. Berdiri itu artinya bersumpah mengamalkan
isi lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan itu. * Sumpah nasional yang ketiga
tahun 1331, Sumpah Palapa – sumpah Maha Patih Gajah Mada. Setelah diucapkan,
sumpah itu lalu diperjuangkan selama 2 tahun lebih, kemudian timbul kejayaan
Mojopahit pada jaman Hayam Wuruk. Berselang 597 tahun kemudian terjadi Sumpah
Pemuda, Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Selang waktu 597 itu ternyata juga
mengandung makna tiga, 5 + 9 + 7 jumlahnya 21, 2 dengan 1 sama dengan 3 – Satu
nusa, Satu bangsa, Satu bahasa. Dan berselang 17 tahun dari Sumpah Pemuda
muncul Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa sumpah pemuda telah
memunculkan seorang tokoh besar, pencipta lagu Indonesia Raya, WR. Supratman.
Seorang pemuda berbadan kurus kering, fakir miskin, sampai wafat di Surabaya
pada usia 35 tahun belum mempunyai rumah. Tapi kefakiran, kekurusan yang
menyelimuti badannya itu tersimpan jiwa yang besar. Kebesaran jiwa itu
dituliskan di atas secarik kertas sehingga menjadi lagu Kebangsaan Indonesia.
Menjadi satu-satunya lagu yang keramat di antara ribuan lagu di Indonesia saat
itu dan bisa meneteskan air mata. Satu-satunya lagu yang harus dinyanyikan
dengan cara berdiri. Satu-satunya lagu yang ditakuti penjajah dan dilarang
selama 14 tahun. Satu-satunya lagu yang masuk konstituti Negara Republik
Indonesia (bab 15 pasal 36 b lagu Indonesia Raya). Satu-satunya lagu yang
mengantarkan WR Supratman menjadi Pahlawan Nasional. Lagu yang senantiasa
dikenang di seluruh Indonesia. Satu-satunya lagu yang tidak sembarangan cara
menyanyikannya. Ada aturan, yang aturan itu sudah masuk lembaga negara.
Bukankah itu menunjukkan kebesaran jiwa untuk melawan penjajah? Lagu itu lahir
pada malam yang sama dengan sumpah pemuda. Sekarang kita tinggal menikmati dan
mensyukuri. Apakah tidak malu, melalui jalan-jalan yang namanya
pahlawan-pahlawan itu, kalau kita tidak bersyukur. Saya yakin selama sifat malu
belum koyak pasti akan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan bersyukur
kepada sesama manusia. Nabi Muhammad bersabda : “Barang siapa yang tidak
bersyukur kepada sesama manusia tidak beryukur kepada Allah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar